Minggu, 16 Juni 2013

Opini Jawa Pos


SANG KYAI DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh: Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd*


Pendidikan karakter bangsa adalah usaha sekolah yang dilakukan secara bersama oleh guru dan pimpinan sekolah melalui semua mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan lain diluar mata pelajaran untuk mengembangkan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian peserta didik melalui internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang kita yakini bersama yang digunakan peserta didik sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak yang menunjukkan kemuliaannya.
Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama semua komponen bangsa, dan bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab dunia pendidikan yang waktu pembelajarannya terbatas oleh ruang dan waktu. Pendidikan karakter menjadi sangat penting dilakukan sebagai jawaban atas maraknya fenomena perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pribadi manusia dan sekolompok masyarakat. Tragisnya, degradasi moral bangsa ini sudah begitu jauh masuk pada sanubari generasi penerus bangsa yang masih menyandang status pelajar. Carut marutnya permasalahan sosial yang terjadi dan selalu menjadi santapan setiap detiknya di layar televisi menjadi  semakin cepat pula virus perilaku menyimpang ini menusuk jiwa pemuda harapan bangsa.
Kehadiran Film Sang Kyai tentu saja menjadi berkah bagai seluruh orang tua masyarakat Indonesia khususnya para guru agar dapatnya menjadikan film Sang Kyai sebagai media pembelajaran. Harus diakui, bahwa pembelajaran konvensional yang hanya menempatkan murid untuk duduk setia dibelakang bangku sangat membosankan bagi siswa. Hadirnya film Sang Kyai ini setidaknya mampu menjadi salah satu bekal guru dalam membuat “pagar betis” pendidikan karakter siswa menjadi lebih menggeliat lagi.
Film Sang Kyai memberikan pesan yang bagus tentang nilai pendidikan karakter yaitu cinta tanah air dan bangsa dan semangat kebangsaan. Adapun “pesan” tersebut dapat terlihat dari cuplikan dialog dibawah ini:
   “Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari didatangi utusan Soekarno untuk menyampaikan sebuah pesan pertanyaan, “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah ?” dengan sigap KH Hasyim Asy’ari menjawab; “Hukum membela negara dan melawan penajajah adalah fardu ain (Dalam Islam, Fardu Ain berarti kewajiban yang harus dan tunggal, tidak dapat diwakilkan).”

Dari petikan tersebut diatas, secara jelas tergambar bagaimana semangat kebangsaan dan cinta tanah air yang sangat kental bertajuk Nasionalisme. Disamping itu, dari kalimat percakapan tersebut terkandung juga makna Universalisme dan Humanisme dari seorang ulama pemangku pesantren di pelosok tanah air. Dikatakan universalisme, karena perjuangan kemerdekaan mempertahankan Republik Indonesia yang digagas oleh para Ulama dan santrinya merupakan kepentingan segenap rakyat Indonesia, baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya, serta bukan kepentingan tertentu yang dikonotasikan sekarang ini dengan aksi terorisme. Kyai Hasyim Asy’ari sangat layak dikatakan sebagai orang yang Humanisme, karena sosok "Sang Kiai" ditampilkan sebagai orang yang tidak memandang sesuatu apapun berdasarkan kelas dan pangkatnya, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah baik itu dengan santri atau masyarakat umum sekitar pondok pesantrennya.
Humanisme menjadi ukuran bagimana manusia dengan indah dan bijaknya bisa me-manusiakan manusia seutuhnya. Di dalam adegan ini juga digambarkan bagaimana humanisme seorang kyai yang kebanyakan umum selalu “jaga jarak” dengan santrinya, namun tidak bagi KH. Hasyim Asy’ari. Sang Kyai tidak segan- segan memerintahkan putra sulung dan bungsunya untuk ikut berperang melawan penjajah, sama seperti yang dilakukan tentara- tentara kemerdekaan lainya. "Sang Kiai" juga tidak lantas memarahi salah seorang murid laki-lakinya karena menyukai seorang perempuan yang mereka temui dipasar, bahkan Sang Kiai menawarkan diri kepada muridnya tersebut untuk segera menemui ayah sang gadis agar segera dinikahkan untuk muridnya tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya dari petikan dialog antara utusan Soekarno dengan Sang Kyai telah tertulis dengan tinta emas dalam catatan sejarah bahwa pertemuan tersebut adalah tonggak munculnya Resolusi Jihad NU. Resolusi jihad ini dalam catatan sejarah mampu “mengubur impian” sekutu untuk menguasai Surabaya dengan waktu cepat. Sebaliknya, Resolusi Jihad ini mampu menyulut semangat para santri dibawah komando Bung Tomo dalam pertempuran 10 Nopember 1945 dan menewaskan dua orang jenderal Inggris yaitu Jenderal A.W.S. Mallaby dan penggantinya yaitu Mayor Jenderal E.C. Mansergh. Adapun bunyi dari resolusi jihad hasil pemikiran panjang Sang Kyai adalah sebagai berikut:
  1. Setiap muslim tua, muda, dan miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia
  2. Pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak di sebut Syuhada
  3. Warga Indonesia yang memihak kepada penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional dan oleh karena itu harus dihukum mati.
Nilai pendidikan karakter seperti; toleransi, peduli sosial, peduli lingkungan, kerja keras dan tanggung jawab dapat terlihat dari adegan “Sang Kyai” dimana pesantren Tebu Ireng tidak mematok biaya bagi semua golongan masyarakat yang hendak mendaftarkan anaknya untuk belajar di pesantren. Satu sisi, digambarkan bahwa ada orang kaya raya datang dan menyerahkan hasil panen yang sangat melimpah kepada pesantren sebagai biaya masuk pendidikan pesantren anaknya. Disisi lain, dengan indah juga digambarkan Sang Kyai menerima seorang anak dari keluarga tidak mampu yang diantarkan ayahnya untuk belajar dipesanteren Tebu Ireng tersebut. Sang Kiai tidak hanya cerdas dan pintar mengelola pesantren, untuk memenuhi kebutuhan sandang- pangan keluarga dan para santri yang "nyantri" di Tebu Ireng, Sang Kyai juga aktif sebagai petani, bercocok tanam buah- buahan dan sayurmayur. Dengan demikian, komunitas pesantren bisa tetap independen dan tidak bergantung pada kelompk kekuasaan manapun.
Dari cuplikan tersebut kiranya kita menjadi tidak terkejut kembali ketika Muhammad Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional bulan Mei 2013 telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi dilingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sehingga, secara kebetulan ataupun memang belajar dari nilai-nilai karakter Sang Kyai, Sang Menteri Muhammad Nuh telah mengeluarkan kebijakan dalam mewujudkan pendidikan yang ramah sosial ala Sang Kyai di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Cukir, Jombang. Intinya, baik yang dilakukan Sang Kyai ataupun Sang Menteri telah “lahirnya” prinsip dan mekanisme pembiayaan subsidi silang dalam pendidikan. Kelompok kaya memberikan konstribusi kepada kelompok tidak kaya atau kurang beruntung. Sebaliknya, kelompok tidak kaya mendapatkan konstribusi dari kelompok kaya. Kunci suksesnya program BKT dan UKT adalah sikap kejujuran dari para orang tua mahsiswa dalam mengisi data kemampuan ekonominya seperti yang tergambar dalam film Sang Kyai tersebut dalam manajemen pondok pesantrennya.   
Nilai pendidikan karakter dari keteladanan Sang Kyai tersebut sungguh indah kiranya jika menjadi kaca benggala bagi penyelenggara yayasan pendidikan yang pada masa sekarang ini sudah mulai kehilangan sikap independent-nya. Film Sang Kyai dapat dijadikan momentum bahwa pendidikan pesantren kembali ke “khittah” seperti pada jaman perjunagan Sang Kyai. Langkah ini menjadi penting, mengingat pada jaman modern ini sudah jarang atau susah sekali ditemukan pesantren yang merupakan “copy-paste” Sang Kyai, sebaliknya pada pesantren- pesantren zaman ini biasanya sudah terafiliasi dengan kelompok politik karena pesantren memiliki basis massa yang rill.
Nilai pendidikan karakter Sang Kyai dalam berpikir kreatif-inovatif juga terlihat dari modifikasi strategi perjuangan dari ber-senjata menjadi ber-diplomasi yang dilakukan dalam menghadapi tekanan penjajahan Jepang sebagai setting film tersebut. Cerita bermula ketika Jepang membebaskan para Kiai, termasuk KH Hasyim Asy'ari dan mengangkatnya sebagai ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Melalui Masyumi, Jepang minta rakyat melipatgandakan hasil bumi, bahkan melalui ceramah di masjid. Ketika ada santri yang merasakan bahwa kenapa Sang Kyai berpihak kepada Jepang, beliau menjawab bahwa Masyumi hanya berpihak pada pembesar-pembesar yang adil. Singkat cerita, Jepang kemudian mengukuhkan Sang Kyai sebagai ketua Shumubu (Departemen Agama) sekaligus ketua Masyumi. Sang Kyai menerima jabatan tersebut dengan pertimbangan untuk berjuang lewat dalam. Selanjutnya, dengan jabatannya Sang Kyai bisa menolak perintah Jepang agar para santri masuk Heiho, namun mengarahkannya untuk bergabung barisan Hizbullah.  
Pendidikan karakter ditengah terkikisnya moral bangsa sebagai dampak negatif yang tak terhindarkan arus kuat globalisasi, menuntut peran lebih komponen masyarakat untuk terus memperkuat karakter positif diri menjadi lebih baik melalui media pembelajaran apapun. Sehingga, pendidikan karakter yang semakin miskin teladan dapat diantisipasi dengan menggali dan mencari teladan-teladan pendidikan karakter seperti Sang Kyai untuk diteladani khususnya para generasi penerus bangsa untuk menjadi lebih berkarakter, Amin.     

*Penulis adalah Kepala SMK NU Tenggarang-Bondowoso (Satu-satunya SMK Gratis Sampai Lulus di Indonesia)

Sabtu, 18 Mei 2013

Refleksi 105 Tahun Kebangkitan Nasional


Refleksi 105 Tahun Kebangkitan Nasional
Oleh : Daris Wibisono Setiawan, SS, M.Pd

Bung Karno telah menuliskan wasiat dengan tinta emas bagi bangsa Indonesia sebuah kalimat singkat yang penuh makna yaitu JAS MERAH, Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sungguh sebuah wasiat yang masih sangat relevan bagi setiap insan manusia sebagai bahan kontemplasi untuk perubahan yang lebih baik secara “jamaah” untuk keharmonisan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hari kebangkitan nasional ditasbihkan menjadi hari besar nasional tentu saja mempunyai riwayat peristiwa yang luar biasa dan diakui oleh sejarawan dan seluruh manusia Indonesia sampai detik ini. Peristiwa ini diawali dengan tonggak berdirinya organisasi pertama di wilayah Nusantara saat itu dengan nama Boedi Oetomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji. Kelahiran Boedi Oetomo sendiri pada awalnya digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Pada awalnya Boedi Oetomo bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan bukan bersifat politik. Boedi Oetomo menjadi awal gerakan yang bertujuan kemerdekaan Indonesia.
Proses kebangkitan nasional dengan lahirnya Boedi Oetomo ini sejarah bangsa dengan sangat jelas melukiskan bahwa di mana masa perjuangan Bangsa Indonesia pada awal dimulainya abad ke - 20 banyak mengalami perubahan-perubahan yang signifikan karena kegagalan-kegagalan perlawanan fisik yang telah dilakukan oleh para Pahlawan Bangsa dan para pendahulunya, di masa perjuangan sebelumnya. Dengan mewujudkan suatu strategi persatuan dan kesadaran dalam bernegara bagi Bangsa Indonesia, di mana pada masa sebelumnya, perlawanan-perlawanan fisik yang telah dilakukan, banyak  yang masih bersifat teritoris atau kedaerahan yang bertumpu pada kekuatan prajurit kerajaan serta kekuatan rakyat setempat, sehingga kekuatan sebagian-sebagian kecil Bangsa Indonesia tersebut mudah dipatahkan oleh Pemerintahan Kolonialisme. Demikian pula dengan adanya bantuan atau pertolongan dari wilayah Kerajaan lain, karena kedudukan setiap wilayah pemerintahan kerajaan juga sangat mudah dikuasai oleh pemerintahan kolonialisme, di mana di dalam peta penguasaan, wilayah-wilayah strategis antar wilayah kerajaan juga telah dikuasai , dengan penerapan berbagai metode penguasaan serta politik “ devide et impera “, telah mudah memecah belah wilayah pendudukan  serta persatuan antara para Bangsawan Kerajaan , kekuatan rakyat serta tali persaudaraan dan persahabatan yang telah terjalin sebelumnya.
Romantisme masa lampau sejarah kebangkitan nasional menjadi wajib dilakukan dengan tujuan dapat menjadi benteng yang kokoh dalam setiap diri khususnya generasi penerus bangsa ditengah terkikisnya budaya bangsa. Realitas sosial yang hampir setiap detik menjadi tayangan tanpa sensor yang dikemas dengan sangat menarik di media cetak dan elektronik sungguh potret buram bangsa Indonesia. Para politisi yang ngakunya seorang “demokrat” sampai yang “berkalung sorban” ternyata telah menjadi “pasien” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari korupsi materi sampai daging sapi. Belum sempat jutaan mata berkedip melihat ratusan milyar dikorupsi oleh perwira polisi ternyata ada bintara polisi diujung republik ini yang disakunya tersimpan uang 1,7 Triliun. Ironisnya, para pasien KPK tersebut dengan kemapuan bersilat lidahnya mampu merangkai kata-kata indah yang bertabur alibi bermain sandiwara yang sangat indah layknya pemain sinetron. Sementara itu, satu level strata sosial dibawahnya juga tergambarkan fenomena yang sama seperti; kasus pemerasan hingga pemerkosaan yang dilakukan oleh Gank Motor Klewang, pembunuhan sadis anak pada ibu kandungnya, maraknya kriminalitas yang dilakukan oleh pelajar, dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. Sementara itu, didalam dunia pendidikan ternyata juga menyimpan sekian permasalahan terkait tentang degradasi moralitas. Hal ini terlihat dari  berbagai macam kasus akhir-akhir ini seperti; indikator kecurangan pelaksanaan ujian nasional secara tersistem, pelecehan seksual yang dilakukan guru (agama) kepada siswanya hingga berlangsung lama, hingga kekerasan sepihak guru yang dilakukan kepada anak didiknya.
Seratus lima tahun kebangkitan nasional sangat layak menjadi momentum kebangkitan bersama generasi penerus bangsa dengan menggali nilai-nilai karakter sejarah terjadinya kebangkitan nasional yang ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908. Adapun nilai-nilai karakter yang dapat diambil dari sejarah kebangkitan nasional adalah sebagai berikut;
  1. Semangat cinta tanah air untuk secara bersama-sama keluar dari belenggu penjajahan dengan cara mengorganisir diri menjadi simpul-simpul kekuatan.
  2. Jiwa leadership yang tangguh dan positif melalui organisasi yang professional dan berkualitas.
  3. Berani menanggung resiko mendirikan organisasi ditengah nuansa penjajahan bangsa lain.
  4. Sikap kerjasama, tangguh, peduli, dan cerdas para pendiri organisasi Boedi Oetomo untuk
mendirikan perkumpulan sebagai batu pijakan strategi perlawanan baru yang lebih cerdas.
Maraknya permasalahan sosial dan perilaku menyimpang yang sangat beragam seperti tersebut dalam contoh-contoh di atas harus segera diselesaikan secara “jamaah” oleh semua komponen masyarakat melalui semangat 105 tahun kebangkitan nasional khususnya menyelamatkan generasi muda penerus bangsa yang semakin tergerus moralnya. Harus diakui, bahwa kenakalan remaja disebabkan oleh beberapa hal antara lain kesalahan sistem pengajaran di sekolah yang kurang menanamkan sistem nilai, transisi kultural, kurangnya perhatian orang tua, dan kurangnya kepedulian masyarakat pada masalah remaja. Untuk mengatasi permasalahan remaja tersebut perlu dilakukan secara sistemik dan komprehensif melalui lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan melalui kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dapat dikaji dan dilakukan melalui berbagai disiplin ilmu (interdisipliner) yaitu agama, IPS, moral (PPKn), olahraga kesehatan, biologi, Psikologi, sosial, hukum, dan politik. Untuk mengatasi masalah kenakalan remaja perlu adanya kerjasama antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah secara kompak sehingga permasalahan yang di hadapi para remaja dapat ditangulangi secara tuntas.
Dengan nafas 105 tahun kebangkitan nasional, strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir sekaligus menghapus kenakalan remaja dapat dilakukan langkah sebagai berikut:
  1. Penanganan di Lingkungan Sekolah
Salah satu penyebab anak usia sekolah nakal karena tidak memiliki sistem nilai sebagai pedoman dalam kehidupanya. Dengan demikian, mereka sangat mudah untuk mengadopsi sesuatu yang ada di masyarakat tanpa menyaring terlebih dahulu. Untuk itu sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal harus mengubah sistem pengajaran yang lebih menekankan pada aspek kognitif, ke sistem pengajaran yang seimbang antara kognektif, afektif dan psikomotor. Perpaduan ketiga aspek tersebut akan memberikan bekal kepada siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penggarapan aspek afektif (sikap, minat, sistem nilai, apresiasi) akan berdampak positif terhadap perilaku siswa. Penanaman sistem nilai kepada siswa di sekolah hendaknya dengan berbagai strategi dengan melibatkan semua guru bidang studi. Menanggulangi masalah kenakalan remaja termasuk pengguna narkoba (narkotik dan obat terlarang ) khususnya di sekolah perlu kerjasama antara guru agama, IPS, PPKn, bimbingan konseling, olahraga kesehatan, dan biologi secara terintegrasi.
  1. Penanganan di lingkungan keluarga
Keluarga sebagai tempat pendidikan anak pertama harus lebih peka terhadap perkembangan perilaku anaknya. Dengan demikian, diharapkan anak dapat berkembang sesuai dengan nilai, norma yang berlaku. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut yang harus dilakukan orang tua antar lain adalah sebagai berikut:
Pertama, harus ditanamkan nilai dan norma agama dalam diri anak. Karena agamalah yang dapat mengendalikan perilaku manusia. Jika melakukan ajaran agama dengan baik maka baiklah perilakunya tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berdiskusi tentang berbagai permasalahan yang dihadapi remaja ditinjau dari agama dan bidang lain, melakukan sholat berjamaah. Kedua, orang tua harus dapat meluangkan waktunya untuk berkumpul dengan anaknya dalam rangka memahami, mengetahui kebutuhan psikis maupun fisik serta permasalahan yang dihadapi anaknya. Memecahkan permasalahan yang dihadapi anaknya yang sudah remaja hendaknya melibatkan seluruh anggota keluarga, dengan mendengarkan pemasukan dari semua amggota keluarga maka permasalahan tersebut dapat diselesaikan lebih baik. Ketiga, orang tua harus mengetahui teman-teman dekat anaknya. Hal ini dilakukan agar dapat lebih mudah mengontrol anaknya, apakah temanya tersebut baik ataukah anak brandalan. Perilaku remaja selain dipegaruhi oleh keluarga juga oleh teman sebaya, maka dalam memilih teman bergaul juga harus memperhatikan latar belakangnya. Orang tua dengan mengetahui teman-teman dekatnya sehingga mereka dapat memberikan suatu pandangan kepada anaknya bagaimana seharusnya bergaul.
  1. Penanganan di Lingkungan Masyarakat (Bidang Sosial)
Kepedulian masyarakat terhadap masalah remaja perlu ditingkatkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengawasi kegiatan remaja dalam masyarakat. Masyarakat hendaknya memberikan suatu saran kepada para remaja jika mereka melakukan suatu tindakan yang menyimpang dari niai-niai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kepedulian ini juga dapat diwujudkan dengan cara melaporkan kepada yang berwajib (polisi) jika mengetahui adanya perdagangan obat terlarang, melakukan perkelahian, minum-minuman keras ataupun melakukan tindakan kekerasan yang lainya. Kepedulian masyarakat ini akan membantu dalam mengatasi permasahan kenakalan remaja. Hal lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah mengajak remaja dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat (gotong royong, aktif dalam kegiatan kepemudaan, keagamaan) serta memberikan suatu keterampilan yang berguna dalam hidupnya.
  1. Penanganan oleh Pemerintah (bidang politik)
Generasi muda adalah pemegang tongkat estafet pembangunan bangsa. Ada sebagian masyarakat kita berpendapat jika pemuda rusak maka rusaklah bangsa namun jika pemuda baik, maka baiklah bangsa ini. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat menyiapkan generasi muda yang beriman dan bartaqwa, berkepribadian luhur, dan kreatif. Untuk mewujudkan itu maka pemerintah harus memiliki langkah-langkah kongkrit. Langkah-langkah tersebut antara lain:
  1. Lebih mengaktifkan kembali kegiatan organisasi kepemudaan seperti karang taruna, KNPI, dan organisasi-organisasi kepemudaan yang lain.
  2. Melakukan penyuluhan tentang bahaya narkoba pada remaja sampai ketingkat pedesaan.
  3. Meningkatkan dan membuka pelatihan-pelatihan untuk generasi muda. Kegiatan ini akan memberikan suatu keterampilan para remaja sehingga bisa mengurangi pengangguran.
  4. Memberikan hukuman yang berat kepada pengguna narkoba dan tindak kriminal. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa remaja yang menggunakan narkoba, melakukan tindakan kriminal, minum-minuman keras pada umumnya mereka sudah mengetahui bahaya narkoba bagi kesehatan, akibat melanggar hukum, dan tindakan merugikan orang lain namun mereka tetap melakukan. Hal ini karena kurang tegaknya hukum, maka untuk membuat jera perlu adanya hukuman yang lebih berat.



Rabu, 13 Februari 2013

KETIKA PELAJARAN IPS SMK “TERBUANG”


KETIKA PELAJARAN IPS SMK “TERBUANG”
Oleh : Daris Wibisono Setiawan, SS, M.Pd

Mendung bergulung begitu pekat, menggantikan indahnya bias pelangi yang menggantung di langit. Begitulah kiranya gambaran dunia pendidikan khususnya para guru ketika melihat proses “evolusi” kurikulum di Indonesia. Rasa paranoid yang begitu hiperbola mulai dari dihapusnya beberapa mata pelajaran, kegundahan terhadap nasib sertifikasi karena jam pelajaran yang menjadi sedikit dalam kurikulum 2013, sampai pada tingginya isu pensiun dini bagi guru yang tidak linear dengan mata pelajaran yang ada dalam kurikulum 2013. Untung saja, masih banyak guru yang bernafaskan “Oemar Bakrie” yang dengan ketulusan hatinya berseloroh “biarkan saja begitu adanya, mengalir saja seperti air dan biarkan saja yang membuat kurikulum itu menata peran dan fungsi kita nantinya”.
Kebijakan pemerintah dalam menciptakan dan menumbuh-kembangkan pendidikan SMK adalah untuk menciptakan lulusan yang siap kerja-cerdas dan kompetitif dalam mengisi kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Potret buram lulusan SMK yang “tidak sukses” dalam DU/DI dan menjadi masalah baru ketika memasuki dunia kerja dengan indikator seperti; lemahnya etos kerja, rendahnya jiwa leadership, dan minimnya implementasi pendidikan karakter lulusan SMK. Harus diakui, bahwa pendadaran pendidikan karakter dan akhlak mulia dalam satuan pendidikan SMK telah berjalan sinergis melalui segitiga emas mata pelajaran IPS, PKN, dan Agama. Mata pelajaran IPS sangat signifikan dalam membantu upaya pembentukan karakter siswa dengan melihat-memahami-mendalami-dan menghayati fenomena sosial di masyarakat serta mampu melakukan pemecahan masalah sosial yang terjadi silih berganti.    
Terhapusnya mata pelajaran IPS dalam pendidikan SMK seharusnya mendapatkan peninjauan kembali secara serius oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Harus disadari, bahwa mata pelajaran IPS pada tingkat pendidikan SMK telah disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan. Disamping itu, pendidikan IPS dalam pendidikan SMK sangat diperlukan bagi siswa untuk memahami pengetahuan sosial sehingga sangat berguna untuk masa depannya, ketrampilan sosial dan kepedulian sosial yang sangat tinggi sehingga menjadi SDM siap kerja dan penuh tanggung jawab. Pembelajaran IPS di SMK selama ini telah memberikan ruang ekspresi kepada siswa dalam mengasah kepekaan sosial yang terjadi pada masyarakat sekitar sebagai aplikasi Ilmu Pengetahuan Sosial.
Realitas sosial yang ada di masyarakat dan terus ada sampai saat ini, seperti; kenakalan remaja, Narkoba, tawuran pelajar, balapan liar, dan perilaku negatif lainnya harus diakui merupakan hasil dari ketidakmampuan manusia dalam melakukan pemecahan masalah secara arif dan bijaksana. Setidaknya, dengan pembelajaran IPS para siswa akan mampu melakukan pemecahan masalah dengan cara yang positif. Pendidikan IPS berperan sangat penting dalam membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Lingkungan masyarakat di mana siswa tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat serta menghadapkan siswa pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Jadi, pada tataran akhirnya peran pendidikan IPS yang membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial masyarakatnya.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya tidak melupakan sejarah bahwa konsep life skills untuk mendorong kesuksesan lulusan SMK di DU/DI dalam Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari empat jenis, yaitu: 1) kecakapan personal (personal skills) yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awarness) dan kecakapan berpikir rasional (rasional skills); 2) kecakapan sosial (social skills); 3) kecakapan akademik (academic skills); 4) kecakapan vokasional (vocasional skills). Kecakapan sosial atau kecakapan antar personal (interpersonal skills), yang merupakan “value” dalam DU/DI mencakup antara lain: kecakapan komunikasi dengan empati dan kecakapan bekerja sama. Empati, sikap penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah, maksudnya bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan tersampaiannya pesan disertai dengan kesan baik yang akan menumbuhkan hubungan harmonis, solusi dan penyelesaian konflik. Ironisnya, kecapakan sosial ini merupakan nilai-nilai positif yang merupakan implementasi pendidikan IPS.   
Pada dasarnya, kristalisasi keringat telah dilakukan para guru IPS dalam mencapai tujuan pendidikan IPS agar dapatnya peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.
            Namun, kurikulum 2013 telah siap dilaksanakan dengan sekian catatan penting sebagai hasil uji publik yang telah dilakukan. Kritikan pedas bahwa kurikulum 2013 tidak didasarkan pada evaluasi dari pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 sehingga dalam pelaksanaannya bisa membingungkan guru dan pemangku pendidikan serta kurikulum 2013 yang sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada orientasi pragmatis seakan tak membuat langkah mundur pelaksanaan uji coba kurikulum 2013.
Ketakutan para guru yang terhapus mata pelajaran yang diampunya telah terjawab secara diplomatis bahwa kurikulum 2013 adalah pembelajaran tematik integratif yang melibatkan keterpaduan semua disiplin ilmu dan tidak akan menghapus mata pelajaran bagaikan senjata pemusnah massal bagi setiap retorika. Pertanyaannya, apakah derasnya arus globalisasi yang begitu kuat dengan membawa pengaruh negatif dan telah menjelma menjadi “budaya baru” generasi penerus republik ini akan mampu dibendung oleh dunia pendidikan tanpa adanya pelajaran IPS yang terbukti telah mampu mengawal tumbuh-kembangnya tunas pendidikan karakter???. Setidaknya, desain ulang terhadap kurikulum 2013 ini perlu dilakukan dengan turut melibatkan guru karena guru menjadi unsur penting dalam kurikulum baru tersebut.