SANG KYAI
DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh:
Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd*
Pendidikan karakter bangsa adalah usaha sekolah yang dilakukan secara
bersama oleh guru dan pimpinan sekolah melalui semua mata pelajaran dan
kegiatan-kegiatan lain diluar mata pelajaran untuk mengembangkan watak, tabiat,
akhlak, atau kepribadian peserta didik melalui internalisasi berbagai kebajikan
(virtues) yang kita yakini bersama yang digunakan peserta didik sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak yang menunjukkan
kemuliaannya.
Pendidikan
karakter merupakan tanggung jawab bersama semua komponen bangsa, dan bukan
hanya menjadi tugas dan tanggung jawab dunia pendidikan yang waktu
pembelajarannya terbatas oleh ruang dan waktu. Pendidikan karakter menjadi
sangat penting dilakukan sebagai jawaban atas maraknya fenomena perilaku
menyimpang yang dilakukan oleh pribadi manusia dan sekolompok masyarakat.
Tragisnya, degradasi moral bangsa ini sudah begitu jauh masuk pada sanubari
generasi penerus bangsa yang masih menyandang status pelajar. Carut marutnya
permasalahan sosial yang terjadi dan selalu menjadi santapan setiap detiknya di
layar televisi menjadi semakin cepat
pula virus perilaku menyimpang ini menusuk jiwa pemuda harapan bangsa.
Kehadiran
Film Sang Kyai tentu saja menjadi berkah bagai seluruh orang tua masyarakat
Indonesia khususnya para guru agar dapatnya menjadikan film Sang Kyai sebagai
media pembelajaran. Harus diakui, bahwa pembelajaran konvensional yang hanya
menempatkan murid untuk duduk setia dibelakang bangku sangat membosankan bagi
siswa. Hadirnya film Sang Kyai ini setidaknya mampu menjadi salah satu bekal guru
dalam membuat “pagar betis” pendidikan karakter siswa menjadi lebih menggeliat
lagi.
Film Sang
Kyai memberikan pesan yang bagus tentang nilai pendidikan karakter yaitu cinta
tanah air dan bangsa dan semangat kebangsaan. Adapun “pesan” tersebut dapat
terlihat dari cuplikan dialog dibawah ini:
“Hadratussyaikh
KH Hasyim Asy’ari didatangi utusan Soekarno untuk menyampaikan sebuah pesan
pertanyaan, “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah ?” dengan
sigap KH Hasyim Asy’ari menjawab; “Hukum membela negara dan melawan penajajah
adalah fardu ain (Dalam Islam, Fardu
Ain berarti kewajiban yang harus dan tunggal, tidak dapat diwakilkan).”
Dari
petikan tersebut diatas, secara jelas tergambar bagaimana semangat kebangsaan
dan cinta tanah air yang sangat kental bertajuk Nasionalisme. Disamping itu,
dari kalimat percakapan tersebut terkandung juga makna Universalisme dan Humanisme
dari seorang ulama pemangku pesantren di pelosok tanah air. Dikatakan universalisme,
karena perjuangan kemerdekaan mempertahankan Republik Indonesia yang digagas
oleh para Ulama dan santrinya merupakan kepentingan segenap rakyat Indonesia,
baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya, serta bukan
kepentingan tertentu yang dikonotasikan sekarang ini dengan aksi terorisme.
Kyai Hasyim Asy’ari sangat layak dikatakan sebagai orang yang Humanisme, karena
sosok "Sang Kiai" ditampilkan sebagai orang yang tidak memandang
sesuatu apapun berdasarkan kelas dan pangkatnya, berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah baik itu dengan santri atau masyarakat umum sekitar pondok
pesantrennya.
Humanisme
menjadi ukuran bagimana manusia dengan indah dan bijaknya bisa me-manusiakan
manusia seutuhnya. Di dalam adegan ini juga digambarkan bagaimana humanisme
seorang kyai yang kebanyakan umum selalu “jaga jarak” dengan santrinya, namun
tidak bagi KH. Hasyim Asy’ari. Sang Kyai tidak segan- segan memerintahkan putra
sulung dan bungsunya untuk ikut berperang melawan penjajah, sama seperti yang
dilakukan tentara- tentara kemerdekaan lainya. "Sang Kiai" juga tidak
lantas memarahi salah seorang murid laki-lakinya karena menyukai seorang
perempuan yang mereka temui dipasar, bahkan Sang Kiai menawarkan diri kepada
muridnya tersebut untuk segera menemui ayah sang gadis agar segera dinikahkan
untuk muridnya tersebut.
Pada
perkembangan selanjutnya dari petikan dialog antara utusan Soekarno dengan Sang
Kyai telah tertulis dengan tinta emas dalam catatan sejarah bahwa pertemuan
tersebut adalah tonggak munculnya Resolusi Jihad NU. Resolusi jihad ini dalam
catatan sejarah mampu “mengubur impian” sekutu untuk menguasai Surabaya dengan
waktu cepat. Sebaliknya, Resolusi Jihad ini mampu menyulut semangat para santri
dibawah komando Bung Tomo dalam pertempuran 10 Nopember 1945 dan menewaskan dua
orang jenderal Inggris yaitu Jenderal A.W.S. Mallaby dan penggantinya yaitu Mayor Jenderal E.C. Mansergh. Adapun bunyi dari resolusi jihad hasil
pemikiran panjang Sang Kyai adalah sebagai berikut:
- Setiap muslim tua, muda, dan miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia
- Pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak di sebut Syuhada
- Warga Indonesia yang memihak kepada penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional dan oleh karena itu harus dihukum mati.
Nilai
pendidikan karakter seperti; toleransi, peduli sosial, peduli lingkungan, kerja
keras dan tanggung jawab dapat terlihat dari adegan “Sang Kyai” dimana
pesantren Tebu Ireng tidak mematok biaya bagi semua golongan masyarakat yang
hendak mendaftarkan anaknya untuk belajar di pesantren. Satu sisi, digambarkan
bahwa ada orang kaya raya datang dan menyerahkan hasil panen yang sangat melimpah
kepada pesantren sebagai biaya masuk pendidikan pesantren anaknya. Disisi lain,
dengan indah juga digambarkan Sang Kyai menerima seorang anak dari keluarga
tidak mampu yang diantarkan ayahnya untuk belajar dipesanteren Tebu Ireng
tersebut. Sang Kiai tidak hanya cerdas dan pintar mengelola pesantren, untuk
memenuhi kebutuhan sandang- pangan keluarga dan para santri yang "nyantri"
di Tebu Ireng, Sang Kyai juga aktif sebagai petani, bercocok tanam buah- buahan
dan sayurmayur. Dengan demikian, komunitas pesantren bisa tetap independen dan
tidak bergantung pada kelompk kekuasaan manapun.
Dari
cuplikan tersebut kiranya kita menjadi tidak terkejut kembali ketika Muhammad
Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional bulan Mei 2013 telah mengeluarkan
Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang
Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi dilingkungan Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sehingga, secara kebetulan ataupun memang
belajar dari nilai-nilai karakter Sang Kyai, Sang Menteri Muhammad Nuh telah
mengeluarkan kebijakan dalam mewujudkan pendidikan yang ramah sosial ala Sang
Kyai di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Cukir, Jombang. Intinya, baik yang
dilakukan Sang Kyai ataupun Sang Menteri telah “lahirnya” prinsip dan mekanisme
pembiayaan subsidi silang dalam pendidikan. Kelompok kaya memberikan
konstribusi kepada kelompok tidak kaya atau kurang beruntung. Sebaliknya,
kelompok tidak kaya mendapatkan konstribusi dari kelompok kaya. Kunci suksesnya
program BKT dan UKT adalah sikap kejujuran dari para orang tua mahsiswa dalam
mengisi data kemampuan ekonominya seperti yang tergambar dalam film Sang Kyai
tersebut dalam manajemen pondok pesantrennya.
Nilai
pendidikan karakter dari keteladanan Sang Kyai tersebut sungguh indah kiranya
jika menjadi kaca benggala bagi penyelenggara yayasan pendidikan yang pada masa
sekarang ini sudah mulai kehilangan sikap independent-nya. Film Sang Kyai dapat
dijadikan momentum bahwa pendidikan pesantren kembali ke “khittah” seperti pada
jaman perjunagan Sang Kyai. Langkah ini menjadi penting, mengingat pada jaman
modern ini sudah jarang atau susah sekali ditemukan pesantren yang merupakan “copy-paste” Sang Kyai, sebaliknya pada
pesantren- pesantren zaman ini biasanya sudah terafiliasi dengan kelompok politik
karena pesantren memiliki basis massa yang rill.
Nilai
pendidikan karakter Sang Kyai dalam berpikir kreatif-inovatif juga terlihat
dari modifikasi strategi perjuangan dari ber-senjata menjadi ber-diplomasi yang
dilakukan dalam menghadapi tekanan penjajahan Jepang sebagai setting film
tersebut. Cerita bermula ketika Jepang membebaskan para
Kiai, termasuk KH Hasyim Asy'ari dan mengangkatnya sebagai ketua Masyumi
(Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Melalui Masyumi, Jepang minta rakyat
melipatgandakan hasil bumi, bahkan melalui ceramah di masjid. Ketika ada santri
yang merasakan bahwa kenapa Sang Kyai berpihak kepada Jepang, beliau menjawab bahwa
Masyumi hanya berpihak pada pembesar-pembesar yang adil. Singkat cerita, Jepang
kemudian mengukuhkan Sang Kyai sebagai ketua Shumubu (Departemen Agama)
sekaligus ketua Masyumi. Sang Kyai menerima jabatan tersebut dengan
pertimbangan untuk berjuang lewat dalam. Selanjutnya, dengan jabatannya Sang
Kyai bisa menolak perintah Jepang agar para santri masuk Heiho, namun
mengarahkannya untuk bergabung barisan Hizbullah.
Pendidikan karakter ditengah terkikisnya moral bangsa
sebagai dampak negatif yang tak terhindarkan arus kuat globalisasi, menuntut
peran lebih komponen masyarakat untuk terus memperkuat karakter positif diri
menjadi lebih baik melalui media pembelajaran apapun. Sehingga, pendidikan
karakter yang semakin miskin teladan dapat diantisipasi dengan menggali dan
mencari teladan-teladan pendidikan karakter seperti Sang Kyai untuk diteladani
khususnya para generasi penerus bangsa untuk menjadi lebih berkarakter, Amin.
*Penulis
adalah Kepala SMK NU Tenggarang-Bondowoso (Satu-satunya SMK Gratis Sampai Lulus
di Indonesia)