Minggu, 16 Juni 2013

Opini Jawa Pos


SANG KYAI DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh: Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd*


Pendidikan karakter bangsa adalah usaha sekolah yang dilakukan secara bersama oleh guru dan pimpinan sekolah melalui semua mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan lain diluar mata pelajaran untuk mengembangkan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian peserta didik melalui internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang kita yakini bersama yang digunakan peserta didik sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak yang menunjukkan kemuliaannya.
Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama semua komponen bangsa, dan bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab dunia pendidikan yang waktu pembelajarannya terbatas oleh ruang dan waktu. Pendidikan karakter menjadi sangat penting dilakukan sebagai jawaban atas maraknya fenomena perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pribadi manusia dan sekolompok masyarakat. Tragisnya, degradasi moral bangsa ini sudah begitu jauh masuk pada sanubari generasi penerus bangsa yang masih menyandang status pelajar. Carut marutnya permasalahan sosial yang terjadi dan selalu menjadi santapan setiap detiknya di layar televisi menjadi  semakin cepat pula virus perilaku menyimpang ini menusuk jiwa pemuda harapan bangsa.
Kehadiran Film Sang Kyai tentu saja menjadi berkah bagai seluruh orang tua masyarakat Indonesia khususnya para guru agar dapatnya menjadikan film Sang Kyai sebagai media pembelajaran. Harus diakui, bahwa pembelajaran konvensional yang hanya menempatkan murid untuk duduk setia dibelakang bangku sangat membosankan bagi siswa. Hadirnya film Sang Kyai ini setidaknya mampu menjadi salah satu bekal guru dalam membuat “pagar betis” pendidikan karakter siswa menjadi lebih menggeliat lagi.
Film Sang Kyai memberikan pesan yang bagus tentang nilai pendidikan karakter yaitu cinta tanah air dan bangsa dan semangat kebangsaan. Adapun “pesan” tersebut dapat terlihat dari cuplikan dialog dibawah ini:
   “Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari didatangi utusan Soekarno untuk menyampaikan sebuah pesan pertanyaan, “Apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah ?” dengan sigap KH Hasyim Asy’ari menjawab; “Hukum membela negara dan melawan penajajah adalah fardu ain (Dalam Islam, Fardu Ain berarti kewajiban yang harus dan tunggal, tidak dapat diwakilkan).”

Dari petikan tersebut diatas, secara jelas tergambar bagaimana semangat kebangsaan dan cinta tanah air yang sangat kental bertajuk Nasionalisme. Disamping itu, dari kalimat percakapan tersebut terkandung juga makna Universalisme dan Humanisme dari seorang ulama pemangku pesantren di pelosok tanah air. Dikatakan universalisme, karena perjuangan kemerdekaan mempertahankan Republik Indonesia yang digagas oleh para Ulama dan santrinya merupakan kepentingan segenap rakyat Indonesia, baik itu Islam, Kristen, Hindu, Budha dan kepercayaan lainnya, serta bukan kepentingan tertentu yang dikonotasikan sekarang ini dengan aksi terorisme. Kyai Hasyim Asy’ari sangat layak dikatakan sebagai orang yang Humanisme, karena sosok "Sang Kiai" ditampilkan sebagai orang yang tidak memandang sesuatu apapun berdasarkan kelas dan pangkatnya, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah baik itu dengan santri atau masyarakat umum sekitar pondok pesantrennya.
Humanisme menjadi ukuran bagimana manusia dengan indah dan bijaknya bisa me-manusiakan manusia seutuhnya. Di dalam adegan ini juga digambarkan bagaimana humanisme seorang kyai yang kebanyakan umum selalu “jaga jarak” dengan santrinya, namun tidak bagi KH. Hasyim Asy’ari. Sang Kyai tidak segan- segan memerintahkan putra sulung dan bungsunya untuk ikut berperang melawan penjajah, sama seperti yang dilakukan tentara- tentara kemerdekaan lainya. "Sang Kiai" juga tidak lantas memarahi salah seorang murid laki-lakinya karena menyukai seorang perempuan yang mereka temui dipasar, bahkan Sang Kiai menawarkan diri kepada muridnya tersebut untuk segera menemui ayah sang gadis agar segera dinikahkan untuk muridnya tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya dari petikan dialog antara utusan Soekarno dengan Sang Kyai telah tertulis dengan tinta emas dalam catatan sejarah bahwa pertemuan tersebut adalah tonggak munculnya Resolusi Jihad NU. Resolusi jihad ini dalam catatan sejarah mampu “mengubur impian” sekutu untuk menguasai Surabaya dengan waktu cepat. Sebaliknya, Resolusi Jihad ini mampu menyulut semangat para santri dibawah komando Bung Tomo dalam pertempuran 10 Nopember 1945 dan menewaskan dua orang jenderal Inggris yaitu Jenderal A.W.S. Mallaby dan penggantinya yaitu Mayor Jenderal E.C. Mansergh. Adapun bunyi dari resolusi jihad hasil pemikiran panjang Sang Kyai adalah sebagai berikut:
  1. Setiap muslim tua, muda, dan miskin sekalipun wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia
  2. Pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak di sebut Syuhada
  3. Warga Indonesia yang memihak kepada penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional dan oleh karena itu harus dihukum mati.
Nilai pendidikan karakter seperti; toleransi, peduli sosial, peduli lingkungan, kerja keras dan tanggung jawab dapat terlihat dari adegan “Sang Kyai” dimana pesantren Tebu Ireng tidak mematok biaya bagi semua golongan masyarakat yang hendak mendaftarkan anaknya untuk belajar di pesantren. Satu sisi, digambarkan bahwa ada orang kaya raya datang dan menyerahkan hasil panen yang sangat melimpah kepada pesantren sebagai biaya masuk pendidikan pesantren anaknya. Disisi lain, dengan indah juga digambarkan Sang Kyai menerima seorang anak dari keluarga tidak mampu yang diantarkan ayahnya untuk belajar dipesanteren Tebu Ireng tersebut. Sang Kiai tidak hanya cerdas dan pintar mengelola pesantren, untuk memenuhi kebutuhan sandang- pangan keluarga dan para santri yang "nyantri" di Tebu Ireng, Sang Kyai juga aktif sebagai petani, bercocok tanam buah- buahan dan sayurmayur. Dengan demikian, komunitas pesantren bisa tetap independen dan tidak bergantung pada kelompk kekuasaan manapun.
Dari cuplikan tersebut kiranya kita menjadi tidak terkejut kembali ketika Muhammad Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional bulan Mei 2013 telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi dilingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sehingga, secara kebetulan ataupun memang belajar dari nilai-nilai karakter Sang Kyai, Sang Menteri Muhammad Nuh telah mengeluarkan kebijakan dalam mewujudkan pendidikan yang ramah sosial ala Sang Kyai di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Cukir, Jombang. Intinya, baik yang dilakukan Sang Kyai ataupun Sang Menteri telah “lahirnya” prinsip dan mekanisme pembiayaan subsidi silang dalam pendidikan. Kelompok kaya memberikan konstribusi kepada kelompok tidak kaya atau kurang beruntung. Sebaliknya, kelompok tidak kaya mendapatkan konstribusi dari kelompok kaya. Kunci suksesnya program BKT dan UKT adalah sikap kejujuran dari para orang tua mahsiswa dalam mengisi data kemampuan ekonominya seperti yang tergambar dalam film Sang Kyai tersebut dalam manajemen pondok pesantrennya.   
Nilai pendidikan karakter dari keteladanan Sang Kyai tersebut sungguh indah kiranya jika menjadi kaca benggala bagi penyelenggara yayasan pendidikan yang pada masa sekarang ini sudah mulai kehilangan sikap independent-nya. Film Sang Kyai dapat dijadikan momentum bahwa pendidikan pesantren kembali ke “khittah” seperti pada jaman perjunagan Sang Kyai. Langkah ini menjadi penting, mengingat pada jaman modern ini sudah jarang atau susah sekali ditemukan pesantren yang merupakan “copy-paste” Sang Kyai, sebaliknya pada pesantren- pesantren zaman ini biasanya sudah terafiliasi dengan kelompok politik karena pesantren memiliki basis massa yang rill.
Nilai pendidikan karakter Sang Kyai dalam berpikir kreatif-inovatif juga terlihat dari modifikasi strategi perjuangan dari ber-senjata menjadi ber-diplomasi yang dilakukan dalam menghadapi tekanan penjajahan Jepang sebagai setting film tersebut. Cerita bermula ketika Jepang membebaskan para Kiai, termasuk KH Hasyim Asy'ari dan mengangkatnya sebagai ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Melalui Masyumi, Jepang minta rakyat melipatgandakan hasil bumi, bahkan melalui ceramah di masjid. Ketika ada santri yang merasakan bahwa kenapa Sang Kyai berpihak kepada Jepang, beliau menjawab bahwa Masyumi hanya berpihak pada pembesar-pembesar yang adil. Singkat cerita, Jepang kemudian mengukuhkan Sang Kyai sebagai ketua Shumubu (Departemen Agama) sekaligus ketua Masyumi. Sang Kyai menerima jabatan tersebut dengan pertimbangan untuk berjuang lewat dalam. Selanjutnya, dengan jabatannya Sang Kyai bisa menolak perintah Jepang agar para santri masuk Heiho, namun mengarahkannya untuk bergabung barisan Hizbullah.  
Pendidikan karakter ditengah terkikisnya moral bangsa sebagai dampak negatif yang tak terhindarkan arus kuat globalisasi, menuntut peran lebih komponen masyarakat untuk terus memperkuat karakter positif diri menjadi lebih baik melalui media pembelajaran apapun. Sehingga, pendidikan karakter yang semakin miskin teladan dapat diantisipasi dengan menggali dan mencari teladan-teladan pendidikan karakter seperti Sang Kyai untuk diteladani khususnya para generasi penerus bangsa untuk menjadi lebih berkarakter, Amin.     

*Penulis adalah Kepala SMK NU Tenggarang-Bondowoso (Satu-satunya SMK Gratis Sampai Lulus di Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar