Rabu, 13 Februari 2013

KETIKA PELAJARAN IPS SMK “TERBUANG”


KETIKA PELAJARAN IPS SMK “TERBUANG”
Oleh : Daris Wibisono Setiawan, SS, M.Pd

Mendung bergulung begitu pekat, menggantikan indahnya bias pelangi yang menggantung di langit. Begitulah kiranya gambaran dunia pendidikan khususnya para guru ketika melihat proses “evolusi” kurikulum di Indonesia. Rasa paranoid yang begitu hiperbola mulai dari dihapusnya beberapa mata pelajaran, kegundahan terhadap nasib sertifikasi karena jam pelajaran yang menjadi sedikit dalam kurikulum 2013, sampai pada tingginya isu pensiun dini bagi guru yang tidak linear dengan mata pelajaran yang ada dalam kurikulum 2013. Untung saja, masih banyak guru yang bernafaskan “Oemar Bakrie” yang dengan ketulusan hatinya berseloroh “biarkan saja begitu adanya, mengalir saja seperti air dan biarkan saja yang membuat kurikulum itu menata peran dan fungsi kita nantinya”.
Kebijakan pemerintah dalam menciptakan dan menumbuh-kembangkan pendidikan SMK adalah untuk menciptakan lulusan yang siap kerja-cerdas dan kompetitif dalam mengisi kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Potret buram lulusan SMK yang “tidak sukses” dalam DU/DI dan menjadi masalah baru ketika memasuki dunia kerja dengan indikator seperti; lemahnya etos kerja, rendahnya jiwa leadership, dan minimnya implementasi pendidikan karakter lulusan SMK. Harus diakui, bahwa pendadaran pendidikan karakter dan akhlak mulia dalam satuan pendidikan SMK telah berjalan sinergis melalui segitiga emas mata pelajaran IPS, PKN, dan Agama. Mata pelajaran IPS sangat signifikan dalam membantu upaya pembentukan karakter siswa dengan melihat-memahami-mendalami-dan menghayati fenomena sosial di masyarakat serta mampu melakukan pemecahan masalah sosial yang terjadi silih berganti.    
Terhapusnya mata pelajaran IPS dalam pendidikan SMK seharusnya mendapatkan peninjauan kembali secara serius oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Harus disadari, bahwa mata pelajaran IPS pada tingkat pendidikan SMK telah disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan. Disamping itu, pendidikan IPS dalam pendidikan SMK sangat diperlukan bagi siswa untuk memahami pengetahuan sosial sehingga sangat berguna untuk masa depannya, ketrampilan sosial dan kepedulian sosial yang sangat tinggi sehingga menjadi SDM siap kerja dan penuh tanggung jawab. Pembelajaran IPS di SMK selama ini telah memberikan ruang ekspresi kepada siswa dalam mengasah kepekaan sosial yang terjadi pada masyarakat sekitar sebagai aplikasi Ilmu Pengetahuan Sosial.
Realitas sosial yang ada di masyarakat dan terus ada sampai saat ini, seperti; kenakalan remaja, Narkoba, tawuran pelajar, balapan liar, dan perilaku negatif lainnya harus diakui merupakan hasil dari ketidakmampuan manusia dalam melakukan pemecahan masalah secara arif dan bijaksana. Setidaknya, dengan pembelajaran IPS para siswa akan mampu melakukan pemecahan masalah dengan cara yang positif. Pendidikan IPS berperan sangat penting dalam membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Lingkungan masyarakat di mana siswa tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat serta menghadapkan siswa pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Jadi, pada tataran akhirnya peran pendidikan IPS yang membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial masyarakatnya.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya tidak melupakan sejarah bahwa konsep life skills untuk mendorong kesuksesan lulusan SMK di DU/DI dalam Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari empat jenis, yaitu: 1) kecakapan personal (personal skills) yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awarness) dan kecakapan berpikir rasional (rasional skills); 2) kecakapan sosial (social skills); 3) kecakapan akademik (academic skills); 4) kecakapan vokasional (vocasional skills). Kecakapan sosial atau kecakapan antar personal (interpersonal skills), yang merupakan “value” dalam DU/DI mencakup antara lain: kecakapan komunikasi dengan empati dan kecakapan bekerja sama. Empati, sikap penuh pengertian dan seni komunikasi dua arah, maksudnya bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan tersampaiannya pesan disertai dengan kesan baik yang akan menumbuhkan hubungan harmonis, solusi dan penyelesaian konflik. Ironisnya, kecapakan sosial ini merupakan nilai-nilai positif yang merupakan implementasi pendidikan IPS.   
Pada dasarnya, kristalisasi keringat telah dilakukan para guru IPS dalam mencapai tujuan pendidikan IPS agar dapatnya peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.
            Namun, kurikulum 2013 telah siap dilaksanakan dengan sekian catatan penting sebagai hasil uji publik yang telah dilakukan. Kritikan pedas bahwa kurikulum 2013 tidak didasarkan pada evaluasi dari pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 sehingga dalam pelaksanaannya bisa membingungkan guru dan pemangku pendidikan serta kurikulum 2013 yang sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional karena penekanan pengembangan kurikulum hanya didasarkan pada orientasi pragmatis seakan tak membuat langkah mundur pelaksanaan uji coba kurikulum 2013.
Ketakutan para guru yang terhapus mata pelajaran yang diampunya telah terjawab secara diplomatis bahwa kurikulum 2013 adalah pembelajaran tematik integratif yang melibatkan keterpaduan semua disiplin ilmu dan tidak akan menghapus mata pelajaran bagaikan senjata pemusnah massal bagi setiap retorika. Pertanyaannya, apakah derasnya arus globalisasi yang begitu kuat dengan membawa pengaruh negatif dan telah menjelma menjadi “budaya baru” generasi penerus republik ini akan mampu dibendung oleh dunia pendidikan tanpa adanya pelajaran IPS yang terbukti telah mampu mengawal tumbuh-kembangnya tunas pendidikan karakter???. Setidaknya, desain ulang terhadap kurikulum 2013 ini perlu dilakukan dengan turut melibatkan guru karena guru menjadi unsur penting dalam kurikulum baru tersebut.



Prahara dan Dilema Kurikulum 2013


PRAHARA DAN DILEMA KURIKULUM 2013
Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd

Kebijakan pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai rencana besar merekayasa penciptaan Sumber Daya Manusia (SDM) generasi penerus bangsa di masa depan. Rencana tersebut semakin meyakinkan khalayak umum bahwa pomeo “ganti menteri ganti kurikulum” mendekati benar adanya. Ditengah banyaknya protes dan riuh-riuh ketidaksetujuan yang muncul dari kalangan praktisi, akademisi dan pemerhati pendidikan, ternyata arus mendesakkan kurikulum belum ada nama 2013 untuk diterapkan sangat kuat. Sungguh ironis memang, jika pendidikan merupakan kunci keberhasilan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya harus didesakkan sedemikian rupa tanpa adanya “rembug bareng” yang melibatkan semua komponen pendukung pendidikan dalam men-desaign kurikulum. Jika begitu adanya, upaya membangun sumber daya manusia yang mampu bersaing di tingkat internasioal sama saja dengan “menjaring angin”.
Sungguh indah kiranya jika para penentu kebijakan kurikulum di republik ini untuk sedikit saja melirik ke belakang, mengamati-mempelajarai-dan melakukan refleksi terhadap perjalanan kurikulum di Indonesia sepanjang masa. Pernyataan founding fathers bangsa tercinta Ir. Soekarno dengan kata JAS MERAH (Jangan sekali-sekali Melupakan Sejarah) patut menjadi pijakan bagaimana pentingnya melihat sejarah pencapaian kurikulum masa lampau untuk melakukan perbaikan pada kurikulum yang akan dilaksanakan sekarang untuk pencapaian masa depan. Setidaknya, langkah ini diperlukan agar hasil akhir dari implementasi kurikulum 2013 nantinya sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia dan mampu bersaing pada era yang jauh lebih modern di masa depan.
Kemiskinan di Indonesia yang mencapai 60 % dari jumlah 240 juta penduduk bukanlah justifikasi yang tepat dalam menganalisis perlunya perubahan kurikulum. Fenomena sosial yang menjadi tontonan menarik setiap detik layaknya sebuah sinetron yang “menghibur hati” seperti; artis terjerat Narkoba, pemerkosaan remaja, tawuran pelajar, pernikahan dini, dan masih banyak yang lainnya inilah “ancaman dan tantangan” dunia pendidikan. Segitiga emas yang terdiri dari Sekolah- Lingkungan masyarakat-dan Keluarga bermetafosis menjadi lingkaran setan yang sulit sinergis dalam peningkatan mutu pendidikan. Ketika siswi dirumah dibiarkan memakai pakaian super minim dan seksi, masyarakat juga tidak memberikan “teguran/sanksi moral” maka tentu saja tidak in line dengan pendidikan di sekolah. Sementara itu, pembelajaran dikelas yang cenderung konvensional tentu saja kalah dengan hiburan televisi yang menyampaikan pesan bertentangan dengan norma/peraturan sekolah dan masyarakat. Jadi, bukan kurikulum yang gagal dalam menciptakan pendidikan yang luar biasa bagi siswa, tapi kurangnya sistem kontrol dan pengawasan pihak-pihak terkait terhadap setiap pengaruh luar dengan kemasan menarik yang datang. 
Ironisnya, segala bentuk permasalahan sosial tersebut diambillah kesimpulan yang kurang tepat bahwa “kambing hitam” dari masalah tersebut adalah penyalahgunaan Tekhnologi Informasi (TI). Sehingga, yang menarik dan menghentak publik bahwa di dalam kurikulum 2013 pelajaran IT dihapuskan.  Bagi penulis, sampai detik ini belum ada alasan yang super sangat rasional terkait penghapusan mata pelajaran IT tersebut. Era globalisasi yang syarat dengan kompetisi disegala bidang kehidupan harus mendapatkan antisipasi super jitu dari bangsa tercinta ini, terlebih lagi bagi ouput pendidikan. Salah satu senjata ampuh antisipasi era tersebut adalah IT dan bahasa inggris. Harus diakui, bahwa IT merupakan media efektif memamerkan dan memasarkan semua karya anak bangsa, media untuk melakukan akses semua ilmu pengetahuan yang terbebas dari ruang dan waktu yang sangat memperkaya khasanah keilmuwan siswa, IT adalah media komunikasi yang memperpendek jarak tempuh dan nilai positif lainnya. Pertanyaannya, kenapa pelajaran IT harus dihapuskan???
Penghapusan mata pelajaran IT adalah mimpi buruk yang menunggu bom waktu untuk meledak di masa yang akan datang. Bagaimana tidak, pada jamannya nanti ketika era globalisasi yang memaksa manusia sangat tergantung IT, bangsa-bangsa lain sumber daya manusianya sudah sangat mampu dan terampil tapi bangsa Indonesia harus rela tetap menjadi obyek pasar/ “tanah jajahan” yang nikmat bagi bangsa lain. Disamping itu, penghapusan mata pelajaran IT akan menimbulkan kesenjangan sosial yang panjang dalam masyarakat. Orang tua yang sangat peduli pendidikan dan mempunyai uang lebih akan memberikan kesempatan anaknya belajar IT diluar jam sekolah, tentu saja hal ini tidak akan dilakukan dengan orang tua yang latar pendidikannya rendah dan kurang beruntung secara ekonomi.
Perkembangan tekhnologi informasi yang begitu pesat di republik tercinta ini seakan tidak seiring sejalan dengan peningkatan kualitas kompetensi pembelajaran IT untuk menyongsong era digital yang sudah semakin menjamur. Sungguh sangat ironis memang jika era globalisasi yang tidak bisa ditolak kehadirannya tanpa dukungan sumber daya manusia yang mampu menjadi operator tangguh. Semuanya harus sirna hanya dengan kesimpulan yang terkesan over generalism bahwa IT membawa dampak buruk bagi masyarakat dengan mengambil contoh-contoh negatif dan mengubur contoh-contoh positif. Perilaku menyimpang dalam pemanfaatan IT sebenarnya sangat mudah bagi negara untuk menerapkan kebijakan sistem kontrol terhadap pemblokiran situs-situs yang tidak sehat seperti yang telah dilakukan Kementrian Informasi dan Komunikasi.
Potensi kesenjangan sosial dari lulusan satuan pendidikan juga akan terlihat dari kemampuan bahasa inggris sebagai bahasa internasional yang memungkinkan setiap manusia Indonesia untuk menempuh ilmu diluar negeri. Siswa dengan latar belakang kemampuan ekonomi dan pengetahuan orang tua yang tinggi akan memberikan ilmu tambahan bahasa inggris melalui les privat, namun hal ini tidak terjadi pada siswa dengan latar belakang sebaliknya.
Implementasi kurikulum 2013 juga membawa prahara dan dilema bagi guru kelas di tingkat SD dan guru mata pelajaran ditingkat pendidikan menengah SMP/SMA/SMK. Pengurangan mata pelajaran dan jumlah jam pelajaran merangsang rasa paranoid para guru terhadap nasib sertifikasinya yang menuntut jumlah jam mengajar minimal 24 jam. Selanjutnya, bagaimanakah nasib guru yang mengajajar mata pelajaran yang “terhapus” dari kurikulum 2013???.     
Persoalan lain terkait kurikulum tanpa nama 2013 ini juga terlihat dari distribusi terpusat terkait pengadaan buku-buku penunjang siswa, guru, dan silabus yang menjadi pegangan wajib guru. Pertanyaannya, apakah pendistribusian tersebut tidak akan memunculkan potensi korupsi yang luas dan terkesan “legal” dalam dunia pendidikan?. Jika semua pegangan tersebut bersifat wajib dan dibebankan kepada siswa/guru/satuan pendidikan, bukankah hal tersebut sangat memberatkan lembaga pendidikan?. Apapun yang terjadi nanti, semoga pendidikan bernafaskan kapitalisme tidak terjadi lagi dalam pendidikan di republik ini.
Harus disadari bahwa pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat, setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan dilaksanakan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Sehingga, alangkah lebih indah dan cerdasnya jika kurikulum tanpa nama 2013 dipikirkan secara jitu demi peningkatan kualitas SDM bangsa Indonesia sebelum diimplementasikan.