PRAHARA
DAN DILEMA KURIKULUM 2013
Daris Wibisono Setiawan, S.S, M.Pd
Kebijakan pemerintah
melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai rencana besar merekayasa
penciptaan Sumber Daya Manusia (SDM) generasi penerus bangsa di masa depan.
Rencana tersebut semakin meyakinkan khalayak umum bahwa pomeo “ganti menteri
ganti kurikulum” mendekati benar adanya. Ditengah banyaknya protes dan
riuh-riuh ketidaksetujuan yang muncul dari kalangan praktisi, akademisi dan
pemerhati pendidikan, ternyata arus mendesakkan kurikulum belum ada nama 2013
untuk diterapkan sangat kuat. Sungguh ironis memang, jika pendidikan merupakan
kunci keberhasilan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya harus didesakkan
sedemikian rupa tanpa adanya “rembug bareng” yang melibatkan semua komponen
pendukung pendidikan dalam men-desaign kurikulum. Jika begitu adanya, upaya
membangun sumber daya manusia yang mampu bersaing di tingkat internasioal sama
saja dengan “menjaring angin”.
Sungguh indah kiranya
jika para penentu kebijakan kurikulum di republik ini untuk sedikit saja
melirik ke belakang, mengamati-mempelajarai-dan melakukan refleksi terhadap
perjalanan kurikulum di Indonesia sepanjang masa. Pernyataan founding fathers bangsa tercinta Ir.
Soekarno dengan kata JAS MERAH (Jangan sekali-sekali Melupakan Sejarah) patut
menjadi pijakan bagaimana pentingnya melihat sejarah pencapaian kurikulum masa
lampau untuk melakukan perbaikan pada kurikulum yang akan dilaksanakan sekarang
untuk pencapaian masa depan. Setidaknya, langkah ini diperlukan agar hasil
akhir dari implementasi kurikulum 2013 nantinya sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat Indonesia dan mampu bersaing pada era yang jauh lebih modern
di masa depan.
Kemiskinan di Indonesia
yang mencapai 60 % dari jumlah 240 juta penduduk bukanlah justifikasi yang
tepat dalam menganalisis perlunya perubahan kurikulum. Fenomena sosial yang
menjadi tontonan menarik setiap detik layaknya sebuah sinetron yang “menghibur
hati” seperti; artis terjerat Narkoba, pemerkosaan remaja, tawuran pelajar,
pernikahan dini, dan masih banyak yang lainnya inilah “ancaman dan tantangan”
dunia pendidikan. Segitiga emas yang terdiri dari Sekolah- Lingkungan
masyarakat-dan Keluarga bermetafosis menjadi lingkaran setan yang sulit
sinergis dalam peningkatan mutu pendidikan. Ketika siswi dirumah dibiarkan
memakai pakaian super minim dan seksi, masyarakat juga tidak memberikan
“teguran/sanksi moral” maka tentu saja tidak in line dengan pendidikan di sekolah. Sementara itu, pembelajaran
dikelas yang cenderung konvensional tentu saja kalah dengan hiburan televisi
yang menyampaikan pesan bertentangan dengan norma/peraturan sekolah dan
masyarakat. Jadi, bukan kurikulum yang gagal dalam menciptakan pendidikan yang
luar biasa bagi siswa, tapi kurangnya sistem kontrol dan pengawasan pihak-pihak
terkait terhadap setiap pengaruh luar dengan kemasan menarik yang datang.
Ironisnya, segala
bentuk permasalahan sosial tersebut diambillah kesimpulan yang kurang tepat
bahwa “kambing hitam” dari masalah tersebut adalah penyalahgunaan Tekhnologi
Informasi (TI). Sehingga, yang menarik dan menghentak publik bahwa di dalam
kurikulum 2013 pelajaran IT dihapuskan. Bagi
penulis, sampai detik ini belum ada alasan yang super sangat rasional terkait
penghapusan mata pelajaran IT tersebut. Era globalisasi yang syarat dengan
kompetisi disegala bidang kehidupan harus mendapatkan antisipasi super jitu
dari bangsa tercinta ini, terlebih lagi bagi ouput pendidikan. Salah satu senjata ampuh antisipasi era tersebut
adalah IT dan bahasa inggris. Harus diakui, bahwa IT merupakan media efektif memamerkan
dan memasarkan semua karya anak bangsa, media untuk melakukan akses semua ilmu
pengetahuan yang terbebas dari ruang dan waktu yang sangat memperkaya khasanah
keilmuwan siswa, IT adalah media komunikasi yang memperpendek jarak tempuh dan
nilai positif lainnya. Pertanyaannya, kenapa pelajaran IT harus dihapuskan???
Penghapusan mata
pelajaran IT adalah mimpi buruk yang menunggu bom waktu untuk meledak di masa
yang akan datang. Bagaimana tidak, pada jamannya nanti ketika era globalisasi
yang memaksa manusia sangat tergantung IT, bangsa-bangsa lain sumber daya
manusianya sudah sangat mampu dan terampil tapi bangsa Indonesia harus rela
tetap menjadi obyek pasar/ “tanah jajahan” yang nikmat bagi bangsa lain. Disamping
itu, penghapusan mata pelajaran IT akan menimbulkan kesenjangan sosial yang
panjang dalam masyarakat. Orang tua yang sangat peduli pendidikan dan mempunyai
uang lebih akan memberikan kesempatan anaknya belajar IT diluar jam sekolah,
tentu saja hal ini tidak akan dilakukan dengan orang tua yang latar
pendidikannya rendah dan kurang beruntung secara ekonomi.
Perkembangan tekhnologi
informasi yang begitu pesat di republik tercinta ini seakan tidak seiring
sejalan dengan peningkatan kualitas kompetensi pembelajaran IT untuk
menyongsong era digital yang sudah semakin menjamur. Sungguh sangat ironis
memang jika era globalisasi yang tidak bisa ditolak kehadirannya tanpa dukungan
sumber daya manusia yang mampu menjadi operator tangguh. Semuanya harus sirna
hanya dengan kesimpulan yang terkesan over generalism bahwa IT membawa dampak
buruk bagi masyarakat dengan mengambil contoh-contoh negatif dan mengubur
contoh-contoh positif. Perilaku menyimpang dalam pemanfaatan IT sebenarnya
sangat mudah bagi negara untuk menerapkan kebijakan sistem kontrol terhadap
pemblokiran situs-situs yang tidak sehat seperti yang telah dilakukan
Kementrian Informasi dan Komunikasi.
Potensi kesenjangan
sosial dari lulusan satuan pendidikan juga akan terlihat dari kemampuan bahasa
inggris sebagai bahasa internasional yang memungkinkan setiap manusia Indonesia
untuk menempuh ilmu diluar negeri. Siswa dengan latar belakang kemampuan
ekonomi dan pengetahuan orang tua yang tinggi akan memberikan ilmu tambahan
bahasa inggris melalui les privat, namun hal ini tidak terjadi pada siswa
dengan latar belakang sebaliknya.
Implementasi kurikulum
2013 juga membawa prahara dan dilema bagi guru kelas di tingkat SD dan guru
mata pelajaran ditingkat pendidikan menengah SMP/SMA/SMK. Pengurangan mata
pelajaran dan jumlah jam pelajaran merangsang rasa paranoid para guru terhadap
nasib sertifikasinya yang menuntut jumlah jam mengajar minimal 24 jam.
Selanjutnya, bagaimanakah nasib guru yang mengajajar mata pelajaran yang
“terhapus” dari kurikulum 2013???.
Persoalan lain terkait
kurikulum tanpa nama 2013 ini juga terlihat dari distribusi terpusat terkait
pengadaan buku-buku penunjang siswa, guru, dan silabus yang menjadi pegangan
wajib guru. Pertanyaannya, apakah pendistribusian tersebut tidak akan memunculkan
potensi korupsi yang luas dan terkesan “legal” dalam dunia pendidikan?. Jika
semua pegangan tersebut bersifat wajib dan dibebankan kepada siswa/guru/satuan
pendidikan, bukankah hal tersebut sangat memberatkan lembaga pendidikan?.
Apapun yang terjadi nanti, semoga pendidikan bernafaskan kapitalisme tidak
terjadi lagi dalam pendidikan di republik ini.
Harus disadari bahwa pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat, setiap
manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada.
Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit
berkembang dan bahkan akan terbelakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan
bertujuan untuk mengembangkan kualitas. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengamanatkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
dilaksanakan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta
bertanggung jawab. Sehingga, alangkah lebih indah dan cerdasnya jika kurikulum
tanpa nama 2013 dipikirkan secara jitu demi peningkatan kualitas SDM bangsa
Indonesia sebelum diimplementasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar